Rabu, 09 Oktober 2013

HAKIKAT FILSAFAT BAHASA



HAKIKAT FILSAFAT BAHASA
            Kebanyakan pakar dalam mengupas hubungan ilmu bahasa dan filsafat selalu menempatkan filsafat kedalam posisi yang prestisius. Hal ini tidaklah aneh mengingat filsafat adalah roh dari semua ilmu termasuk ilmu bahasa. Kajian bahasa pertama kalipun justru dilakukan oleh filosof dan bukan oleh ahli bahasa. Pada jaman dulu, para filosof memecahkan berbagai macam problem filsafat melalui pendekatan analisis bahasa. Sebagai contoh problem filsafat yang menyangkut pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan mendasar seperti yang ada, reality, eksistensi, sensi substansi, materi, bentuk kausalitas, makna pernyataan dan verifikasinya (Katsoff, 1989:48-63) dan pertanyaan-peranyaan fundamental lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan analisis data bahasa. Tradisi ini oleh para ahli sejarah filsafat disebut sebagai Filsafat Analitik, yang berkembang di Eropa terutama di Inggris abad XX.
            Semua ahli filsafat sepakat bahwa ada hubungan yang sangat erat antara filsafat dan bahasa terutama yang berhubungan dengan peran pokok filsafat sebagai analisator konsep-konsep. Konsep-konsep yang dianalisa filsafat memiliki raga kuat karena berbentuk istilah-istilah bahasa dan karenanya, tidak bisa tidak, filosof harus memahami makna “apa itu bahasa” yang selalu digunakan dalam memahami konsep-konsep tersebut.
            Sejak zaman Yunani kuno, sudah muncul paham Phusis yang menyatakan bahwa bahasa bersifat alamiah (fisei atau fisis), yaitu bahasa mempunyai hubungan dengan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tidak dapat diganti di luar manusia itu sendiri dan karena itu tidak dapat ditolak. Dengan demikian dalam bahasa ada keterkaitan antara kata dan alam. Tokoh paham natural ini diantaranya Cratylus dalam Dialog Pluto (Solikhan, 2008:55)
            Paham naturalis ini mendapat penentangan dari paham Thesis yang berpendapat bahwa bahasa bersifat konvensi (nomos). Bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan berupa tacit agreement (persetujuan diam). Bahasa bukan pemberian Tuhan, melainkan bersifat konvensional. Pendapat ini diwakili oleh Hermoganes dalam Dialog Pluto (Kaelan, 1998:29)
            Dikotomi spekulatif tentang hakikat bahasa fusie dan nomos merupakan pusat perhatian filosof pada saat itu. Demikian juga dikotomi analogi dan anomali merupakan diskursus filosofis yang mendasar mengingat bahasa merupakan sarana utama dalam filsafat terutama dalam logika. Golongan analogi yang dianut kelompok Plato dan Aristoteles mengatakan bahwa alam ini memiliki keteraturan demikian juga manusia yang terefleksi dalam bahasa. Oleh karena itu bahasa memiliki keteraturan dan disusun secara teratur. Sebaliknya, kaum Anomalis berpendapat bahwa bahasa tidak memiliki keteraturan. Mereka mununjukkan bukti kenyataan sehari-hari mengapa ada kata yang bersifat sinonim, dan homonim, mengapa ada unsur kata yang bersifat netral, dan jika bahasa itu bersifat universal seharusnya kekacauan itu dapat diperbaiki. Dalam pengertian inilah bahasa pada hakekatnya bersifat alamiah (Parera dalam Solikhan,    2008: 55).
            Perbedaan-perbedaan perspektif  tentang bahasa dan segala hal yang berkaitan namun tetap berada dalam payung bahasa, yang dilakukan oleh para filosof ternyata memiliki kontribusi yang demikian besar terhadap kemajuan dari ilmu bahasa. Perbedaan-perbedaan ini memunculkan adanya diskusi, dialog, bahkan debat. Diskusi, dialog, dan debat inilah yang menyuntikkan darah segar pada para filosof untuk selalu melahirkan  inovasi-inovasi dan revisi-revisi terhadap teori lama yang berkenaan dengan bahasa. Dimulai dengan dimunculkannya filsafat bahasa oleh para filosof yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat bahasa, sebab, asal dan hukumnya (yang kemudian menjadi embrio dari lahirnya ilmu bahasa atau linguistik) (Sallyanti, 2004:1), maka lahirlah ilmu bahasa atau linguistik yang kita kenal dewasa ini.
            Orang-orang Yunani kuno dan orang-orang kuno lainnya mempunya bakat ingin mengetahui hal-hal yang oleh orang-orang lain dianggap sebagaimana semestinya. Dengan berani dan gigih, mereka membuat spekulasi mengenai definisi, asal mula, sejarah, dan struktur bahasa. Pengetahuan tradisional kita mengenai bahasa sebagian besar adalah berkat mereka (Bloomfield, 1995:2).
            Keingin tahuan ini terlihat dari apa yang disampaikan Herodotus, yang menulis pada abad kelima sebelum Masehi, ia menuliskan bahwa Raja Psammetichus di Mesir pernah mengasingkan dua orang bayi yang baru lahir di sebuah taman, untuk mengetahui mana bangsa dan bahasa tertua di dunia. Ketika bayi-bayi tersebut mulai berbicara, mereka mengucapkan kata bekos, yang ternyata dari bahasa Frigia yang berarti “roti” (Yule, 1985: 2)
            Penelitian-penelitian seperti yang dilakukan Raja Psammetichus ini melahirkan beberapa pengetahuan baru tentang bahasa, yang kadang dari pengetahuan ini memunculkan adanya perdebatan. Bagi Raja Psammetichus, berdasarkan hasil penelitiannya ia menjumpai bahwa ternyata bangsa dan bahasa tertua adalah bangsa dan bahasa Frigia. Namun bagi peneliti-peneliti kuno lainnya belum tentu demikian. Raja James IV of Scotland 1500 M berdasarkan hasil penelitiannya yang serupa menyebutkan bahwa bahasa Ibranilah sebagai bahasa tertua di dunia. (Yule, 1985: 2)
            Raja Psammetichus dan dan Raja James IV tidak memiliki hubungan kekerabatan yang dekat karena hal itu tidaklah mungkin. Kedua raja tersebut hidup di dua era berbeda dan di wilayah yang berbeda pula. Psammetichus tinggal di Yunani dan hidup sebelum masehi sedangkan James IV tinggal di Britania Raya jauh setelah Masehi. Yang membuat mereka sama adalah, dua tokoh ini dikenal memiliki ketertarikan kuat terhadap misteri bahasa. Ketertarikan ini muncul akibat dari kuatnya pengaruh filsafat yang menjadi pegangan hidup mereka.
            Beberapa definisi bahasa tercipta dari hasil pemikiran dan penelitian para filosof kuno ini. Sebagian besar filosof tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya.  Definisi bahasa yang lain seperti yang diungkapkan Plato lewat Socrates: “Bahasa adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata dan rhemata yang merupakan cerminan dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut”.
   

Sabtu, 13 Oktober 2012



HADIS MUTAWATIR  , AHAD ( KONSEP, URGENSI, KEHUJJAHAN DAN CONTOH )

Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah:
Studi Al-Hadits: Teori dan Metodologi
 



                                                 


Disusun Oleh:
Muhammad Mas’ud (1220411231)

Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Marhumah, M.Pd.

KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI YOGYAKARTA
2012

       I.            Pendahuluan
            Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat mulia dalam Islam dan menjadi dasar ke dua setelah al-qur’an. Orang-orang yang bergelut di dalamnya telah menyandang keharuman tersendiri dalam sejarah. Sebutlah misal seperti : Malik bin Anas, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Al-Auza’i, ‘Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Ibnul-Mubarak, Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, An-Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Ibnu Rajab, Asy-Syaukani, Al-Mubarakfury, Ahmad Syakir, dan lainnya yang tetap berlanjut sampai saat ini. Merekalah Ashhaabul-Hadits (para ahli hadits). Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan pengakuan bahwa sebagai penghulu/pemimpin Al-Firqatun-Najiyyah (Golongan yang Selamat). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :  
عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم وآله وسلم تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلهم في النار إلا واحدة قالوا وما هي تلك الفرقة قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي. وفي لفظ : وهي الجماعة
Dari Anas bin Malik ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Akan terpecah umat ini menjadi tujuhpuluh tiga kelompok yang kesemuanya masuk neraka kecuali satu”. Para shahabat bertanya : “Siapa mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang kondisinya seperti kondisiku dan para shahabatku di hari ini”.  [HR. Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghiir no. 724].
            Dalam lain riwayat beliau besabda : “Dan ia adalah Al-Jama’ah” [HR. Abu Dawud no. 4597, Ahmad 4/102 no. 16979 dari shahabat Mu’awiyyah bin Abi Sufyan].
Satu golongan/kelompok itulah Al-Firqatun-Najiyyah (sebagaimana disebut oleh banyak ulama). Syaikh Abdul-Qadir Al-Jailani berkata dalam kitab Al-Ghunyah :
أما الفرقة الناجية فهي أهل السنة و الجماعة ، و أهل السنة لا اسم لهم إلا اسم واحد و هو أصحاب الحديث
“Adapun golongan yang selamat yaitu Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Dan Ahlus-Sunnah, tidak ada nama lain bagi mereka kecuali satu nama, yaitu Ashhaabul-Hadiits (para Ahli-Hadits)”
Ashhaabul-Hadits adalah orang-orang yang paling mengerti maksud dan pengamalan sunnah-sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan mereka lah orang yang telah menghabiskan waktu dan usianya untuk mempelajari hadits-hadits, memilah antara yang shahih dan yang dla’if, serta kemudian memberikan penjelasan kandungannya. Demikian sedikit pendahuluan tentang hadits yang saya utarakan dan pada kesempatan ini saya akan menyampaikan materi tentang hadits mutawatir dan hadis ahad.

    II.            Pembahasan
            Pada dasarnya hadist ditinjau dari kuantitasnya ( jumlah para perowi ) itu dibagi menjadi dua macam yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad. Di bawah ini skema pembagian hadits :

الحديث

المعنوىّ

المشهور

المتواتر

الأحاد

الغريب

العزيز

اللفظىّ
 











A.    Hadits Mutawatir
1.        Pengertian
Menurut bahasa, kata al-mutawatir adalah isim fa’il berasal dari mashdar ”al-tawatur´ semakna dengan ”at-tatabu’u” yang berarti berturut-turut atau beriring-iringan seperti kata “tawatara al-matharu” yang berarti hujan turun berturut-turut
Hadits mutawatir menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk terlebih dahulu berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad.  
Adapun untuk mengetahui hadits itu mutawatir atau tidak, terdapat beberapa syarat yang di antaranya :
Ø  Diriwayatkan oleh sejumlah besar perowi yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong. Para ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah perowi, Abu Thayyib menentukan sekurang-kurangnya empat orang perowi sedang ash-habu’sy-Syafi’i menetapkan para perowi berjumlah lima orang. Pendapat ini dikiaskan dengan jumlah nabi yang mendapat gelar “ulul azmi”. Sedangkan sebagian ulama’ menetapkan sekurang-kurangnya dua puluh orang perowi.
Ø  Berdasarkan tanggapan panca indra, seperti hadist yang di dalamnya terdapat kata-kata sami’na (kami dengar) atau ro‘aina (kami lihat)  yang dimaksud di sini adalah bahwa berita yang disampaikan oleh para perowi harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatannya sendiri. Oleh karena itu bila berita itu merupakan renungan, pemikiran, rangkuman dari suatu peristiwa lain ini bukan merupakan hadits mutawatir, misalnya; pemikiran para ahli filsafat tentang ketauhidan Allah menurut hasil teori filsafatnya, ini tidak dapat digolongkan sebagai hadits mutawatir.
Ø  Adanya keseimbangan jumlah perowi pada lapisan pertama dengan perowi pada lapisan berikutnya. Oleh karena itu jika suatu hadits diriwayatkan oleh sepuluh orang sahabat misalnya kemudian diterima oleh lima tabi’in dan selanjutnya hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang tabi’it tabi’in maka ini bukanlah hadits mutawatir karena jumlah rowinya tidak seimbang.

2.    Nilai hadits mutawatir
Hadits mutawatir mempunyai nilai ilmu dlolury yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh hadits mutawatir tersebut sehingga membawa kepada keyakinan yang pasti. Para perowi hadits mutawatir tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan kedlobitannya (kuatnya ingatan) karena jumlah para perowinya sudah menjamin dari persepakatan dusta. Barang siapa yang telah meyakini kemutawatiran suatu hadits maka wajib baginya untuk mempercayai dan mengamalkan apa yang terkandung dalam hadits mutawatir.  Hadits mutawatir merupakan salah satu contoh hadits yang maqbul sehingga tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perowinya.
3.    Hukum  Hadist Mutawatir
Hadist mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut, memberikan informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadist mutawatir, bahkan para ulama menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadist mutawatir. Mengingkari hadist mutawatir  sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti bersumber dari Rasulullah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa penerimaan hadist mutawatir  tidak membutuhkan proses seperti hadist ahad. Cukup dengan bersandar pada jumlah perowi yang dapat diyakini kebenaran khabar yang dibawa. Seperti buku sejarah yang menginformasikan bahwa ada sahabat nabi yang bernama Umar bin Khattab, sekalipun kita belum pernah melihatnya   namun kita tetap yakin bahwa info tersebut benar.

4.    Contoh hadits mutawatir
Di antara contoh hadits mutawatir adalah sabda Rasulullah saw:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“Barang siapa berbuat dusta terhadap diriku, hendaklah ia menempati neraka”. (Hadits ini diriwayatkan oleh kurang lebih enam puluh sahabat).
B.     Hadits Ahad
1. Pngertian
                            Menurut bahasa kata “ahad” bentuk plural (jama’) dari kata “ahad” yang berarti: satu (hadist wahid) berarti hadis yang diriwayatkan satu perawi.
Adapun pengertian dari Hadits Ahad menurut istilah adalah suatu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Yang dimaksud di sini adalah bahwa jumlah perowi hadits ahad tidak sebanyak perowi hadits mutawatir dan juga kandungannya bersifat tidak pasti (zhanni). Adapun kandungan hadits ahad dapat bersifat pasti jika telah dilakukan penelitian dan penyelidikan yang seksama sehingga terbukti bahwa hadits tersebut shahih dan dibawakan oleh para perawi yang terpercaya.
2. Nilai Hadits Ahad
Hadits ahad mempunyai nilai ilmu nadhory, Maksudnya, Satu hadits ahad bisa memberikan satu ilmu yang pasti setelah dilakukan pengkajian dan penelitian dengan seksama. Jika memang setelah diteliti membuktikan bahwa hadits tersebut shahih, dibawakan oleh para perawi terpercaya, dan selamat dan ‘illat (cacat tersembunyi yang menyebabkan kelemahan hadits) dan syudzudz (kejanggalan), maka hadits tersebut adalah diterima lagi mengandung ilmu (keyakinan). Hadits ahad bisa menjadi semakin terangkat jika mempunyai penguat (qarinah).


3. Contoh Hadits Ahad
Adapun salah satu contoh hadits ahad adalah sebagai berikut
اذا جاء احدكم الجمعة فليغتسل (رواه البخاري)
 “bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi.” (HR. Bukhari)

 III.            Kesimpulan  
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa jika hadist ditinjau dari segi jumlah (sedikit banyaknya) perawi atau sumber berita, hadist dapat dibagi  menjadi dua bagian yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang dalam setiap sanadnya dan mustahil para perawinya itu sepakat berdusta. Sebab hadits itu diriwayatkan oleh banyak orang dan disampaikan kepada banyak orang. Oleh karena itu diyakini kebenarannya.
Dalam hal keotentikannya, hadits mutawatir sama dengan al-Qur’an, karena keduanya merupakan sesuatu yang pasti adanya (qoth’i al-wurud). Itulah sebabnya para ’ulama sepakat bahwa hadits mutawatir wajib diamalkan. Berikut salah satu contoh hadits mutawatir itu: Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempat (kembali)nya dalam neraka." (HR. Buk.hori, Muslim, Darimi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, Thobroni, dan Hakim)
Hadits Ahad yaitu hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir. Maksudnya adalah jumlah perowi pada hadits ahad tidak sebanyak jumlah perowi pada hadits mutawatir. Dalam hal kebenarannya hadits ahad dapat dikatakan pasti dengan syarat harus diadakanya penyelidikan dan penelitian sampai terbukti kebenarannya.

 IV.            Daftar Pustaka
Al-Nawawi, Imam. Dasar-dasar Ilmu Hadist.  (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001).
Amin, Kamaruddin. Metode Kritik Hadist. (Jakarta:Hikmah, 2009).
As-Shaleh Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. (Jakarta Pustaka Firdaus, 2000)
Rahman, Fathur. Ikhtisar Musthalahul Hadits (Bandung : PT Al-Ma’arif, 1974)
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits. (Jakarta Rajawali pers, 2010)


Selasa, 06 September 2011

الأخطأ النحويّة والصّرفية فى إنشاء طلاّب شعبة تعليم اللغة العربية بجامعة سلاتيجا الإسلامية الحكومية عام الدراسي ٢٠١١

مقدم لكلية التربية بجامعة الإسلامية الحكومية سلاتيجا
لتكميل الشروط للحصول على الدرجة الجامعة فى التربية الإسلامية (S.Pd.I)

إعداد :
الاسم   : محمّد مسعود
رقم الطالب: ١١٢٠٧٠١٢

شعبة تدريس اللغة العربية  الجامعة الإسلامية الحكومية سلاتيجا
٢٠١١

الأخطأ النحويّة والصّرفية فى إنشاء طلاّب شعبة تعليم اللغة العربية بجامعة سلاتيجا الإسلامية الحكومية عام الدراسي ٢٠١١
‌أ.                   خلفية المسألة
كما هو معروف أن اللغة العربية تتكون من عناصر كثيرة منها القواعد النحوية والقواعد الصرفية. كما قال المصطفى الغلايينى فالعلوم العربية هي العلوم التى يتوصل بها إلى عصمة اللسان والقلم عن الخطاء، وهي ثلاثة عشر علما، منها الصرف والإعراب ويجمعها اسم النحو (مصطفى الغلايينى ٢٠٠٦ : ٧)  وقد قيل أيضا أن اللغة العربية تنقسم إلى علم النحو وعلم الصرف وعلم البلاغ وغيرها. وعلم النحو هي قواعد يعرف بها وظيفة كل كلمة داخل الجملة، وضبط أواخر الكلمات وكيفية إعرابها.( فؤاد نعمة : ١٧) ومن أجل ذلك أن القواعد النحوية هي من العناصر المهمة فى العربية وفى تعليمها لغير الناطقين بها.
1
 
اللغة هي مجموعة من المدركات الحسية والملاحظ المعنوية المشتقة منها.(محمد على ابو حمده ، ١٩٨١ : ١٩) إنّ اللغة العربية هي لغة العالم الإسلامى ولغة الإتصال بين الناس. كما هو معروف أن لكل شعب لغة خاصة بهم فالإندونيسيون يتكلمون باللغة الإندونيسية واللغة العربية يتكلم بها المسلمون فى بعض البلاد الإسلامية. بل الأن أصبحت هذه اللغة العربية إحدى اللغات الرسمية فى هيئة الأمم المتحدة. اللغة وسيلة الإتصال بين كل من الأفراد وعن طريق هذا الإتصال يدرك الفرد حاجاته ويحصل مآربه كما أنها وسيلة وأداة التفاهم بين الأفراد والجماعة.
اللغة العربية هي أحد الدرس من الدروس الذى يُتعلّم للطلاب شعبة تدريس اللغة العربية. أما مؤشرة اللغة العربية تشتمل على أربعة مؤشرات، هم مهارة الإستماع، مهارة المحادثة، مهارة القراءة و مهارة الكتابة.
لقدرة على أربعة مهارات اللغة العربية السابقة لابد أن يفهم علم النحو والصرف لأن علم النحو والصرف هو أساس من كل تعليم اللغة العربية. بعد لديهم علم النحو والصرف الجيد يستطيع الطلاب أن يقرؤا نصوص العربي ويترجموا إلى اللغة الإندونيسيا واخر يستطيع الطلاب أن يكتبوا مقالة باللغة العربية جيدا ومن المعروف أن إرتباطا كبير بين مهارة الكتابة وعلم النحو والصرف.
تأسيسا على فكرة السابقة، أراد الباحث أن يبحث المسائل كذلك فى مقالة : "الأخطاء النحويّة والصرفيّة فى إنشاء طلاّب شعبة تعليم اللغة العربية بجامعة سلاتيجا الإسلامية الحكومية عام الدراسي ٢٠١١".
‌ب.              تحديد المسألة
تأسيسا على خلفية المسألة السابقة حدّ الباحث مسائل البحث كما مما يلى:
۱ ما الأخطاء النحو و الصرف فى إنشاء للطلاب شعبة تدريس اللغة العربية المرحلة السادسة ؟
٢ – ما الصعوبات عن إستخدام النحو و الصرف فى إنشاء للطلاب شعبة تدريس اللغة العربية المرحلة السادسة ؟
‌ج.             أهداف البحث
تأسيسا على تحديد المسألة حدّ الباحث أهداف البحث كم مما يلى:
١ – يريد الباحث أن يعرف الأخطاء النحوية والصرفية فى الإنشاء العربية طلاب شعبة تعليم اللغة العربية بجامعة سلاتيجا الإسلامية الحكومية المرحلة السادسة عام الدراسي ٢٠١١
٢ – يريد الباحث أن يعرف المشكلات فى قواعد النحو والصرف فى الإنشاء العربية طلاب شعبة تعليم اللغة العربية بجامعة سلاتيجا الإسلامية الحكومية المرحلة السادسة عام الدراسي ٢٠١١
‌د.                  بيان الإصطلاحات
لإجتناب التفاهم وليسهّل القارئ فى تفهم المقالة كذلك، بيّن الباحث اصطلاحات مهما التى تحمل فى هذه المقالة فهي:
١الإنشاء
هو الاتصال بالأخرين كتابة بطريقة فعالة فإن كتابات التلاميذ تعتبر مصدرا منطقيا لإختبار الكلمات المناسبة للدراسة والكتابة.(الدكتور على أحمد مدكور ، ١٩٨٤ : ٢٣٤) إن الكتابة أيضا وسيلة من وسائل تعلم اللغة فهي تساعد الدراسى على التقاط المفردات وتعرف التراكيب واستخدامها. (محمد كامل ٢٠٠٣ : ١٩٩)
٢ - الصرفية
هي نسبة من الصرف. وعلم الصرف فى اللغة التعبير هي تحويل الاصل الواحد الى امثلة مختلفة لمعان مقصودة لا تحصل الا بها. وأما القواعد الصرفية التى يبحثها الباحث فهي قواعد الصرف التى تشتمل على مادة قواعد الصرف ١ و ٢ التى يتعلم الطلاب اللغة العربية.
٣ – النحوية
النحوية هي نسبة من النحو. وعلم النحو هي قواعد يعرف بها وظيفة كل كلمة داخل الجملة، وضبط أواخر الكلمات وكيفية إعرابها. ومن أجل ذلك القواعد النحوية هي أسس مهمة فى معرفة وظيفة كل كلمة داخل الجملة وضبط أواخر الكلمات وإعرابها.( فؤاد نعمة : ١٧) وأما القواعد النحوية التى يبحثها الباحث فهي القواعد النحوية التى تشتمل على مادة قواعد النحو ١ و ٢ التى يتعلم الطلاب اللغة العربية.  
‌ه.                تحديد البحث
أما تحديد البحث الذى يستعمل الباحث فى هذا المسألة فهو مما يلى:
أ .  مادة النحوية
١ . المبتداء والخبر
٢ . خبر كان و خبر إنّ
٣ . الفاعل ونائب الفاعل
٤ . التوابع (نعت و منعوت)
٥ . مفعول به و مفعول مطلق
٦ . محفوضات الأسماء (إضافة و مجرور بعلى)
ب . مادة الصرفية
١ . إسناد فعل مضارع إلى الضمائر
٢ . اسم الالة و اسم المكان و اسم الفاعل
٣ . تقسيم الاسم إلى : مذكر ومؤنث, مفرد ومثنى وجمع
٤ . تقسيم الفعل إلى ماضى ، مضارع ، وامر
5 . اوزان الفعل المزيد
‌و.                 أهمية البحث
١ – للكاتب
أن يعرف أنواع الأخطاء فى إنشاء للطلاب شعبة تدريس اللغة العربية المرحلة السادسة.
٢ – للتلميذ
أن يعرف الأخطاء و الصعوبات عن إستخدام النحو و الصرف فى إنشاء للطلاب شعبة تدريس اللغة العربية المرحلة السادسة. جانبا على ذلك يرجو الباحث أن هذا البحث إعطاء النافع لدى طلاب شعبة اللغة العربية.  
٣ – للمدرس
أن يختار المدرس على طريقة مناسبة مع قدرة اللطلاب.
‌ز.             طريقة البحث
لأن يوجد نتيجة البحث الصحيح، يحتاج الكاتب طريقة البحث تماما, أما مناهج البحث الذى أن يستعمل الكتاب فهو كما يلى :
١ -  طريقة تعيين المباحث
إستعمل الباحث طريقة السكان والعينات، السكان هو موضوع البحث. أما العينة جزئيا بدلا من دراسة السكان، السكان في هذه الدراسة هو طلاب شعبة تدريس اللغة العربية المرحلة السادسة جامعة سلاتيجا الإسلامية الحكومية العام ٢٠١١ ما يصل الى 27 طالبا.
٢ -   طريقة جمع البيانات
أ   -  طريقة وثيقة البحث عن البيانات أصاب حلات أو المتغير الذى بصفة ملحوظة وكتاب ومحضرة والتقرير ومذكرة ومجلة وجريدة ونحوه.
ب -  الاختبار، استعمل الكاتب على هذه الطريقة لأن يعرف على البيانات من مصادر البيانات بعدد الأسئلة المكتوبة
ج -   الاستفتاء ، هو طريقة جمع البيانات بكيفية ارسال شيئ قائمة السؤال إلى المستجيب لشحنة. هذه الطريقة استفاد الباحث ليحرز البيانات عن الصعوبات فى إنشاء أصيب للطلاب شعبة تدريس اللغة العربية.
٣ -  تحليل البيانات
كانت طريقتان فى تحليل البيانات، هما:
أ -  طريقة تحليل الوصفى
هي البيانات التى تتركب بدون عدد أو بغيرهم.
ب - طريقة بعداد
هو تحليل البيانات برقم.
١. ويعرف التوزيع من (متغير) فى هذا البحث استعمل الرمز:
البيانات:
P : النسبة الئوية
F : تردد الإجابة
N: عدد المستجيبين
‌ح.               نظام البحث
قبل أن أجري باب الاول إلى باب أخر فا بدئ بصفحة  موضوع البحث وشعار، ومقدومه, وفهرس الموضوعات.
الباب الأول    :المقدمة، خلفية المسئلة، تحديد المسألة، أهداف البحث، بيان الإصطلاحات، تحديد البحث، أهمية البحث، طريقة البحث, ونظام البحث.
الباب الثانى  : الإنشاء مفهومه ومكوناته : الإنشاء ، تحليل الأخطاء، أسباب الأخطاء، وعلاقة دراسة الإنشاء والنحو والصرف                                                                                                       
الباب الثالث  : إجراءات البحث هي بيانات الأخطاء، والصعوبات فى كتابة الإنشاء لدى طلاب   
الباب الرابع    : تحليل البيانات هي تحليل الأخطاء و تحليل الصعوبات
الباب الخامس :الإختتام وهو يشتمل على الخلاصة والإقتراحات